Ipul, Ndha Dan Iany

Tak jarang cinta membuat manusia melakukan hal gila. Hal diluar jalan fikiran manusia pada umumnya. Hal nekat yang membuat kita jadi lebih dewasa.


Kisah ini terjadi sebelum ada film Punk In Love karya Ody C. Harahap.

Sebelum kami sadar, bahwa perjalanan kami adalah sebuah kenekatan dua remaja tolol  yang mengharapkan mampu menghapus dahaga akan rindu pada kekasih hati. Pada pacar impian yang terpisah oleh jarak.

...

Sore itu,
Aku dan Ipul berbincang di rumah salah satu teman kami yang bisa dibilang oon kuadrat.

"Sesok dadi budal... aku wingi oleh duet 60.000 soko adol helm... !!!" Teriak Ipul berapi-api seperti orator Bung Karno.

"Aku due 17 ewu siso ngamen. Cukup lah kanggo mangan.... !!" Timpalku bak Sengkuni yang memberi dorongan semangat pada para Kurawa.

Sebelumnya memang kami sudah merencanakan akan bepergian dengan setengah nekat ke Purwokerto. Dan jauh-jauh hari kami juga telah menghubungi Dika, salah satu sohib kami di bandung.

Dika tinggal di Bandung bersama orangtuanya, dan pengen ke kampung tempat Mbah, Ngawi. Tempat tinggal dia dulu kala kecil.

"Siiip... lha pamit pak mbok ora  ??!!" Tanya Ipul.

"Pamitlah. We jek mbok-mbok en nue" jawabku.

"Alesane opo nip.. ??!!" Keluar wajah tolol Ipul.

"Ga usah alesan. Tapi arep nyang Bandung jemput Dika. Yen masalah mampir dhisek nyang Purwokerto, gausah ngomong-ngomong.  !!" Pinter banget gue kalau memutar sedikit fakta. Setidaknya kan enggak berbohong. Hm.

Ipul satu-satunya 'musuh' gue yang enggak pernah akur kalau bersama gue. Dia sebenernya anak ragil yang disayang ortunya. Tapi kadang kemanjaan itulah yang buat kita keluar dari zona aman perlindungan ortu. Tak jarang dia 'minggat' dari rumah gara-gara hal sepele. Menurut gue sih, hanya cari perhatian dari ortu biar mereka lebih tahu apa yang kita mau. Yaps.

Kali ini misi kami adalah pergi ke Purwokerto, menemui Bidadari yang kami impikan  masing-masing. Ipul dengan Ndha pujaannya. Dan gue dengan Iany yang entah seperti apa mukanya kalau lihat langsung. Salama ini gue hanya pacaran lewat sms dan sekali lihat fotonya dari Ndha. Saat itu belum marak medsos.

Justru karena hal itu, belum ketemu langsung tapi sudah sering phone dan sms an malah bikin rasa penasaran gue tambah gede. Segede Tai yang masih di dalam perut kebo yang lagi bunting.

Buat Ipul, dia punya cerita sendiri tentang Ndha, Gadis pujaannya bertahun-tahun. Ndha adalah cinta monyet Ipul yang terbawa sampai lulus SMA. Sedangkan mereka bertemu jarang sekali. Itu disebabkan karena JARAK. Ya, jarak adalah sumber KANGEN yang paling mendominasi di bumi yang bangsat ini.

Ndha adalah cucu dari salah satu tetangga kami, tetangga yang bisa dikatakan Tetua. Dan rumahnya lebih dekat dengan Ipul. Tiap liburan atau ada kepentingan lain, keluarga Ndha menjenguk ke kampung kami. Tepatnya rumah Kakek Ndha. Itulah awal pertemuan mereka. Ipul pertama bertemu Ndha, saat mereka masih bau ingus. Saat Resletingnya sering jebol karena suka main prosotan di pohon jambu. Saat masih suka hujan-hujanan sambil main bola biar terlihat keren.

...

Dengan modal dengkul serta duit 77ribu, kami mengenakan baju dan sepatu kebanggaan masing-masing. Gue dengan jaket dan sepatu ala Punk yang menurut gue keren, tapi orang-orang bilang lebih mirip kayak anak berandalan yang sukanya nyari putung rokok karena tak mampu beli rokok dan nebeng sana-sini karena nggak mampu beli tiket.

Pun Ipul, dia nggak kalah keren. Tas kecil yang dia bawa melengkapi jadi anak berandalan yang pura-pura jadi rentenir.

Setelah acara pamitan ma keluarga masing-masing selesai, kita berangkat ke Stasiun.

"Satu tiket seharga 33ribu. Dua tiket jadi 66ribu. Itu baru nyampe Kroya. Belum ngebis ke PWT nya. Belum lagi melanjutkan ke bandungnya. Ah....bodo amat !!!" Gumamku mengesampingkan hitungan matematika.

"Piye nip, tuku tiket hora ??!!" Tanya Ipul polos karena dia belum pernah bepergian jauh sebelumnya selain tur sama anak TK sekelasnya.

"Ga usah, nebeng wae. Ntar bayar di atas 5ribu pas kontrolan tiket.." jawabku yakin seperti meyakinkan orang yang kehilangan kepercayaan.

"Aturen ya.. duite anane ya iki..!!" Tegasnya.

"Oke.." jawabku dengan nada rendah karena sebenernya aku sendiri tidak yakin bisa menghindari buaya kereta.

...

Kahuripan datang...
Kereta ekonomi yang banyak menyisakan kisah di hidup gue. Yang paling aku inget saat kisah Santi. Karena di kereta ini pula, gue bertemu dengan Santi, gadis kacamata di lain waktu.

Kembali ke story...

Dengan sikap percaya diri tapi gugup dalam hati, kami menaiki kereta yang antah-berantah tak beraturan, Oleh para penumpang yang saya tafsir tidak beli tiket seperti saya. Mereka sebagian duduk di sambungan dan ada yang berdiri di deket pintu dan toilet.

Fikir saya, di situ daerah yang aman jika tiba-tiba ada Kondektur yang mengontrol karcis. Bisa langsung masuk toilet, kalau di gedor...teriak aja...."lagi sakit perut pak...bentar...!!!" Sembari mengeluarkan bau yang super antonim casablanka, pasti gue selamat dari ancaman karcis...rencana pertamaku.

Tapi enggak..enggakk...
Bukan hanya itu alesan kami di sini. Di sambungan gerbong kereta. Tapi karena alesan-alesan lain yang memperkuat bahwa para peenumpang tak berkarcis memang disitu tempatnya. Seperti sudah menyadari dengan sendirinya. Dan kalau pengelola kereta mau blak-blakan, mungkin akan ada tulisan

"Tempat Penumpang Tak Berkarcis"

Ditempelkan di deket pintu dan sambungan gerbong. Jadi dengan senang hati para kondektur akan menerima uang cash dari diskarcisers seperti kami ini dan masuk kantong sendiri. Enaknya jadi pegawai kereta.... lamunku dalam hati.

Nggak terasa, kereta sudah hampir sampai Solo. Dag-dig-dug jantung gue menunggu kontrolan karcis pertama yang biasanya di deket-deket solo. Gue pesen sama Ipul...

"Pokok e nek enek kondektur, bilang wae karcismu tak gowo..yoo !!" Bisikku seolah gue adalah yang berpengalaman nebeng kereta.

"Yoo... gampang.." tandasnya.

Kami duduk diam melamunkan akan bertemu dengan orang yang kami wanti-wanti. Orang yang kami kangeni melebihi udara pagi. Lamunan-lamunan itulah yang membuat kita berani mengambil langkah sampai disini. Walau dengan rupiah seadanya, tekat kami membara bak Bung Tomo dalam perjuangannya melawan Belanda.

"Karciiis....Karcis....."

Akhirnya suara itu terdengar sayup ditengah lamunan kami. Gue langsung membenahkan diri, berdiri dan Ipul ikut berdiri mengikuti gue.

Gue menarik nafas panjang dan mengatur irama jantung gue sebisa mungkin. Mencoba tenang agar tak terlihat gugup oleh kondektur juga Ipul. Karena selama ini gue pura-pura jadi orang yang sudah terbiasa dalam situasi seperti ini. Jangan sampai Ipul hilang kepercayaan ke gue dan gue bakal dibilang cemen.

"Karcis..."

Kata kondektur ke gue.

Gue pura-pura ga denger agar si kondektur berperut buncit itu mendekat.

"Karcis...mana karcis..."

Setengah berteriak kondektur tersebut mendekati gue.

Gue lihat tangan kanannya menjawil gue dan tangan kirinya membawa alat untuk melubangi karcis, mirip stappler, buat memberi tanda pada karcis yang sudah diperiksa.

"Enggak ada golok maupun pistol di tangannya, aman...."fikir gue.

Gue pun merogoh saku dan mengambil duit gocengan dua lembar.

"Ini pak... sama temen saya" jawabku dengan nada rendah.

"Turun mana ??!!" Bentaknya seolah berwibawa untuk menutupi kecurangannya menerima sogokan dari gue.

"Depan..." jawabku singkat karena enggak terfikir jawaban yang gue persiapkan sebelumnya sampai fase itu.

Tanpa bertanya lagi, Pak Kondektur enyah dari muka-muka miskin kami. Perutnya yang buncit tidak dapat menyembunyikan bahwa dia memang tak jarang dapet sogokan dari penumpang yang enggak beli tiket kayak kami.

Aman.

Gue dan Ipul bisa bernafas lega.
Satu kondektur terlewati. Kami menyulut rokok sebagai tanda kelegaan kami. Hufh...

"Gitu doank... penak men...!!!" Bisik Ipul ke gue.

"Nek giliran kondektur sing penak sih, emang gitu.." jawabku tenang dengan dagu keatas. Seolah gue udah terbiasa berurusan dengan orang-orang perut buncit berseragam.

"Wah..wani tuku rokok bungkusan kie.." lanjut Ipul setelah mengetahui kalau cuma sepuluh ribu per kondektur.

"Oke, nyampe Solo tuku rokok sebungkus ngko..."

...

Sesampainya di Solo, kami turun sejenak dan membeli sebungkus rokok. Berjalan dengan angkuhnya tanpa peduli orang bersepatu dan berjaket normal menghindar melihat kami. Entah karena kami sangar dan mereka takut pada kami, atau kemungkinan besarnya mereka enggan mendekati kami dan takut tertular kutu dari tubuh kami.

Kami naik lagi ke kereta kahuripan. Kereta perjuangan kami.

Dengan yakin, kita memesan kopi susu.
Duduk di pinggir pintu kereta,
Punya kopi,
Rokok penuh,
Adalah suasana yang nikmat banget.

"Cindy...jangan lupain aku...By : Oceng Madiun"

"0878-387X-XXXX GAY SEJATI"

"Viking-Bonek satu hati..."

"Kirana Love Edo FOREVER"

"Butuh cewek....hub.0856XXXXXXXX-GERMO Panjang umur"

Sambil menikmati sebatang rokok, kulihat coretan-coretan tak beraturan yang tertera di depan gue. Kreatifitas anak yang tak bertanggung jawab kayak gue.

Tak terasa lama, kereta sudah bersesakan. Di deket pintu yang dari Ngawi sampai Solo hanya gue dan Ipul, kini ada juga penumpang lain yang ikut duduk disitu. Pria semua.

"Wah, nek kebak wong ngeneki kondektur gak bakal gelem disogok. Mesti gengsi, Pul.." jelasku pada Ipul.

"Terus kudu piye ngko...???"

"Penting tenang, ojo ketok wedi lan konyol. Selamet-selamet...!!" Pidato gue menenangkan Ipul.

"Aku wis ndue rencana.." Tandasku lagi setelah mendapat ide cemerlang. Kafein dan Nikotin tadi sepertinya membantu menenangkan otak gue dan memberi ide brilliant.

...

"Karcis...karcis...."

Lagi-lagi suara itu membuyarkan ketenanganku. Aku merasa bakal menghadapi macan tutul kelaparan yang hanya ada gue tanpa perisai, di dalam glosarium dengan banyak penonton yang menyaksikan gue. Anjing !! Posisi yang harus gue hadapi. Dan gue harus menghadapi. Gue manusia, kondektur juga manusia...kenapa gue mesti takut !!! Bisik otak berontak gue ke otak ketakutan ini.

"Karcis...karcis..."

Mendekat...

Semakin dekat...

"Ayo rene, Pul..." Ajak gue.

Tanpa fikir panjang Ipul pun mengikuti saya. Kondektur yang dari belakang gerbong semakin mendekat. Kami berjalan ke depan agar tak berpapasan dengan kondektur tersebut.

Sekilas kulihat,
Kondektur yang ini kurus, enggak buncit kayak yang tadi. Terus ada temennya lagi. Wah...kasus nih !!! Gumamku dalam hati yang makin nggak karuan.

Kita terus berjalan ke depan sampai pada gerbong terakhir deket lokomotif. Disitu sudah nggak ada jalan lagi. Hanya pintu keluar kanan dan kiri. Sedangkan kereta masih berjalan. Jalan buntu, kita terjebak di jalan buntu. Oke, gue menenangkan diri.

"Nek nyampe stasiun, sepur mandeg...awak e dewe mudun muter neng guri neh..." Bisik gue ke Ipul.

"Sip...tapi nek rung nyampe stasiun terus kondektur e wis nyampe kene piye jal ??!! Tanya Ipul yang makin bikin resah gue.

"Diatur ngko neh wae...mboh piye..!!" Gue nggak punya rencana B.

Benar saja.....belum sampai stasiun dan sebelum kereta berhenti, Pak kondektur gesit tadi sudah nyampe gerbong paling depan. Wah, dag-dig-dug jantung gue.

"Karcis dik..." Pinta kondektur kurus tadi ke gue. Dia nggak sendiri. Ada temennya yang membawa blindi. Temennya lebih muda dan kalau gue lihat dari postur tubuhnya yang tegap, lebih pantes mirip TNI yang magang di kereta...mmm..mungkin !!!

"Ini...pak !!! Jawab gue lirih agar tak terdengar dengan jelas sambil menyodorkan duit gocengan dua lembar.

Tanpa diterima, dia malah mengusut kami kayak perampok BH bekas.

"Adik dari mana ??!!" Tanyanya lagi ke gue tanpa menerima uang tersebut.

Gue hanya melirik ke Ipul berharap dia punya jawaban cerdas.

"Mau turun dimana...???!!" Tanya Pak kondektur lagi setelah kami tidak memberi jawaban pertanyaannya tadi.

"Karena kalian nggak beli tiket, ntar di stasiun depan turun..!!!!" Tegasnya setelah melirik sepatu dan pakaian kami yang compang-camping mirip berandalan.

"Iya Pak...!!"

Karena ini adalah gerbong terakhir, Pak kondektur tadi berhenti disitu bersama kami.

"Ah, masih ada saja berandalan di kereta" Cerca Pak Kondektur tadi.

"Banyak pengangguran sih Pak ..!!" Balas Mas-Mas yang mirip TNI magang di sampingnya.

Kami hanya bisa pasrah dengan situasi seperti ini. Mau dikata apa juga gue nggak bakal menjawab kalau posisi salah dan kalah kek gini. Biarlah !!

Sesampainya di stasiun yang gue enggak lihat stasiun mana, gue langsung mendekati pintu keluar.

"Mau diturunin paksa atau mau turun sendiri ??!!" Kata Pak Kondektur tadi dengan bijak.

"Turun sendiri Pak....!!!"

Kami pun turun setelah kereta benar-benar berhenti. Kami berjalan menjauhi kereta. Gue lirik kondektur dan pengawalnya tadi. Mereka juga turun dan berpindah ke lokomotif.

Gue sengaja berjalan ke tempat yang agak gelap...

Menjauhi sisi lain stasiun dan menyusuri rel yang lain. Setelah aman dan kulihat kanan kiri nggak ada yang melihat, gue dan Ipul berhenti. Bersiap-siap start mirip lomba lari cepat.

Beberapa menit kemudian...

"Kereta Kahuripan dari Kediri..tujuan Kiara condong...akan segera berangkat....!!"

"Teeeng....tong...teeeng...troooong.......Tong....teeeeng....teeeiiing...tooong...!!!!

...

Yaps....

Gue lari dari tempat gelap yang sengaja gue pakai untuk ancang-ancang menuju ke kahuripan lagi. Hups...gue dan Ipul berhasil masuk lagi ke gerbong asal mula tempat kami tadi.

Aman...

Gue dan Ipul bisa melanjutkan perjalanan kami lagi ke barat. Dan berharap bisa selamat sampai tujuan.

"Hahaha...edan. Untung iso mbalik neh...!!!" Canda Ipul dengan wajah berseri.

"Hahaha, iyo..." sambutku.


"Wis biasa ngunukuwi..??!! Tanya seseorang yang tak kukenal.

"Biasa ngunukuwi piye..??!! Tanyaku balik seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan kondektur.

"Gak tuku karcis terus nekat kucing-kucingan ambi kondektur..!!" Jelasnya lagi.

"Ooh, iyo.. wis biasa kok nek lagi kepepet ra ndue duit...!!!" Jawabku seolah bangga dengan apa yang barusan terjadi. Padahal dalam hati, sangat berkecamuk nggak karuan perasaan gue. Sungguh memacu adrenalin.

Lama kelamaan kami ngobrol bertiga. Namanya Movi. Kayak nama anjing pada umumnya..hohoho.

Movi tak jarang memuji kami atas kegigihan kami di kereta. Kami pun malah meninggikan diri. Bahwa kami adalah anak jalanan yang tak gentar menghadapi kerasnya hidup yang penuh tekanan. Ha...ha...ha...

Begitulah darah muda.

...

Saya dan Ipul memejamkan mata sebentar-sebentar. Karena gue tahu enggak ada lagi kondektur yang bakal memeriksa karcis sampai Kroya. Kahuripan memang kereta langganan gue kalau bolak-balik ke Bandung. Jadi hafal bener dimana akan ada pengontrolan karcis. Walau enggak selalu di tempat yang sama.

Kami makan beli nasi bungkus. Karena kenyang, kami pun ngantuk. Perut kenyang menghipnotis mata ini buat merem. Tapi tidur kami tak senyenyak di pelukan Aura kasih.

...

"MAOS..."

Kereta berhenti dan gue tersadar.

"Loh, kok wis nyampe Stasiun Maos...!!" Gumamku.

"Mas..Mas, Kroya udah kelewat ya Mas....??!! Tanya gue ke pedagang asongan yang melintas.

"Udah dik...kelewat dua Stasiun ini...!!" Jawabnya.

"Pul...mudun kene, Pul. Kebacut awak e dewe...!!" Teriak gue ke Ipul.

"Loh...Tenane...!!"

"Iyo, Kroya wis kelewat...!!"

Tanpa memeriksa barang bawaan, karena memang nggak bawa apa-apa, hanya tas kecil yang tercentel di pundak kami, kami pun turun. Ipul sms Ndha, dan stasiun terdekat ke Purwokerto kalau lewat jalur selatan memang Kroya. Wah, menambah biaya duit lagi ntar...hmmm.

Tengah malam,
Kulihat kanan kiri. Sepi.
Hanya penjaga warung dan petugas stasiun saja yang masih ada. Rokok masih ada. Kami pun beli minuman ringan ke warung tersebut untuk alasan bertanya bagaimana caranya ke Purwokerto dengan rute yang paling mudah.

"Wah, kalau kereta sudah nggak ada jam segini,dik. Ada juga cuma nyampe Kroya. Enggak tahu ke Purwokertonya...??!!

Jawaban itu cukup meyakinkan bahwa kita harus nginep dulu di sini. Dan melanjutkan perjalanan besok pagi.

"Yaudah...makasih, mbak !!!"

Kami pun mencari tempat untuk beristirahat. Ya...situ tepat deh. Fikirku setelah melihat kursi-kursi deket petugas Stasiun. Kalau disitu, kami nggak bakal diganggu orang...gumamku paranoid.

"Hei..kok nggak mulih dik...!!!" Tanya pegawai Stasiun melihat kami yang tiduran nggak jelas di kursi.

"Nggak Pak...arep nyang Purwokerto tapi wis wengi..!!" Jawab gue.

"Emang adik saka ngendi yak ??!!" Tanyanya lagi setelah mendengar logat bicara gue yang nggak ngapak.

"Ngawi, Pak... mau main ke Purwokerto..!!"

"Oh, mendingan turu kene sek bae...sesuk ngebis maring Purwokerto. Ngendi ta Purwokertone ??!!..

"Kali..kalibagor, iyo to Pul ??!!" Jawab gue sambil meyakinkan ke Ipul, karena yang tahu dari Ndha emang Ipul.

"Kalibagor...nah, sesuk ana bis warnane kuning lewat ngarepan... yo numpak kui bae. Lewat kalibagor kok..!!!" Jelasnya.

"Oh, yaaa...makasih...pak !!!" Bahasa gue campur aduk.

Gue bingung harus pake bahasa gimana. Soalnya, kalau harus jawa logat ngapak, gue belum mahir. Mendingan gue pake bahasa campuran aja. Se-kenanya.

...

Keesokan harinya,
Setelah sudah terdengar deru-deru mesin di jalan raya, kami pun bangkit dan cuci muka.

"Kudu dandan sing ganteng, Pul... Awak e dewe meh ketemu Ndha mbi Iany...!!!" Celoteh gue di depan kaca kamar mandi stasiun.

"Iyo...lah. Kudu kuwi... !!" Timpal Ipul.

Setelah merasa ganteng poool di depan kaca, kami pun keluar stasiun dan menuju jalan raya. Sembari meyakinkan bis mana yang harus kami naiki, gue pun bertanya ke sebuah warung pinggir jalan sambil membeli roti basah dan minuman gelasan.

"Yang warna kuning dik... Adik nyantai aja. Jarang sih bis yang melintas Kalibagor. Bisa sejam sekali...!! Terang si pemilik warung.

"Oke, makasih mbak...!!" Timpal gue ngeloyor pergi sambil menjejalkan roti basah tadi ke mulut gue yang super laper.

Kami menunggu di pinggir jalan. Tiap ada bis warna kuning dan ada tulisan -kalibagor- gue kudu siap mencegatnya. Itulah misi gue selanjutnya.

Kira-kira setengah jam, bis yang kami tunggu sesuai gambaran gue pun datang.

"Nah, iki Pul... Ayo cegat..!!"

Kami pun melambaikan tangan seperti orang yang hendak menumpang bis pada umumnya.

"Lewat Kalibagor, Mas...??!!" Tanya gue ke kernet sebelum benar naik.

"Iyooo...gage munggah...!!" Jawabnya sambil menggandeng kami kayak-GAY SEJATI- Yang pernah gue baca di coretan kereta.

"Hohoho, gay...Pul....!!!" Bisik gue ke Ipul setelah sampai di kursi.

"Hiii...enek ya jebule neng kene..!!" Jawab Ipul sambil mengelap tangan bekas gandengan si kernet tadi.

Hahah...

Kami bisa sedikit lega bisa nyampe bis jurusan tempat Ndha dan Iany. Lumayan jauh dari Maos. Ada sejam-an. Dan tarif bis nya lumayan mahal untuk seukuran muka miskin kayak kami, 9ribu per orang. Tapi yah, mau gimana lagi. Ini bukan kereta yang mana kita bisa kucing-kucingan sama kondekturnya.

"Mudune ngendi, Pul ??!!" Tanya gue ke Ipul. Karena Ndha juga sedang sms-an ma Ipul saat itu.

"Ehm....palang...Pabrik gula...!!" Jawabnya sembari membaca balasan sms Ndha.

"Okey...Ntar kalau sudah nyampe palang pabrik gula, turun ya Mas..!!" Kata gue ke kondektur genit tadi.

"Iyo...iyo..Maaas...!!!" Jawabnya manja.

Gue harus make bahasa indo karena menurut gue bagi orang-orang sini bakal susah mencerna logat gue yang lebih ke arah Surakarta-nan.

Oh iya, walaupun kami orang Ngawi yang masuk dalam wilayah geologis Jawa Timur, tapi logat bicara kami lebih berkiblat ke Jawa Tengah Surakarta-nan.

"Maring kene Mas... palang Pabrik tebu Kalibagor..!!!"

Teriak kernet tadi masih dengan nada genitnya.

"Yo..iyo..suwun...kiriii...."

Kami pun turun dengan lega.
Hah, what's next....

"Nendi,Pul ??!!" Tanyaku ke Ipul.

"Cedak-cedak kene... pertigaan iki. Awak e dewe ngenteni kene wae. Jare arep jemput ko kulon..!!" Gitu penjelasan Ipul sesuai pesan Ndha.

Oke...

Saya menyulut sebatang rokok sambil merapikan rambut yang berantakan.
Bukan karena pengen. Tapi biar terlihat 'cool' saat pandangan pertama di depan Iany. Sesuai artikel yang saya baca, pandangan pertama itu perlu kita buat se-kena mungkin untuk menggaet hati sang gadis. Agar dia enggak mudah melupakan kita... yaps.

Baru beberapa kali menghisap rokok, Dua sosok wanita hadir di jalan depan kami. Dengan badan manghadap ke barat, dia memperlihatkan bagian belakang tubuhnya di hadapan kami yang lumayan masih jauh. Mereka sepertinya sudah tahu kalau kami berada di sini, dan sengaja begitu agar membuat penasaran pada kami.

"Ya..kae Ndha...!!" Kata Ipul.

"Yakin ??!!" Tegas gue.

"Iyo...yuk samper !!"

Kami pun mendatangi mereka.
Bener...mereka hanya membuat rasa penasaran pada kami.

"Haiii....!! Sapa Ndha dan Iany kompak.

"Hai juga..." jawab kami enggak kompak.

Bla..bla...bla....

Perkenalan awal gue yang sempurna dengan Iany. Bagi Ipul dan Ndha, ini adalah pertemuan yang luar biasa. Karena jarang-jarang mereka bertemu. Pasti sangat kangen banget.

Tapi gue juga cuek sama mereka karena aku lebih fokus sama Iany dan berbincang secara langsung untuk pertama kalinya. Aku nggak mau kencan pertama kita berantakan.

Ndha nggak mungkin mempersilahkan kita ke rumahnya karena sejak awal sudah dilarang pacaran sama Ipul. Nggak tau sebabnya pasti. Kami pun jalan-jalan sewajarnya agar tak bosan diam saja.

Menelusuri jalan-jalan sambil sesekali bercanda. Iany sangat over perhatian ke gue. Dari nada bicaranya, dia sangat suka sama gue. Gue emang keren...fikirku setelah melewati kaca mobil dan berhasil mencuri lihat bayangan gue.

Hm...

Perjuangan kami setimpal dengan sikap Ndha dan Iany. Mereka berdua sangat ramah dan hangat menyambut kami. Ndha pasti juga menyadari betapa jauhnya Ngawi-Purwokerto. Dan dia sangat menghargai perjalanan kami, karena Ndha dan Iany juga sudah tahu kalau kami datang kesitu dengan kenekatan. Tanpa tiket, tanpa duit yang memadai, hanya nekat demi bertemu mereka.

...

"Jalan-jalan ke Taman Pramuka yuk..." Ajak Ndha.

"Terserah, kan kami nggak tahu tempat daerah sini..." Jawab Ipul.

"Tapi harus Ngebis... Agak jauh kalau jalan kaki..!!" Sahut Iany.

"Iya, kalian ngebis ma Iany., aku ntar nyusul pake motor...!" Tambah Ndha.

Ndha pun pulang sambil pamit ama bokapnya yang super galak dan over protektif itu. Karenanya, kami enggak berani mampir di rumah Ndha.

Kita bertiga bergegas menuju Taman Pramuka. Enggak jauh, kira-kira 10 menit perjalanan by-bus.

Gue dan Ipul capek banget. Semalaman nggak bisa tidur nyenyak, dan sampai siang itu belum bisa istirahat.

Setelah Ndha datang, kita pun jalan masing-masing di taman itu. Gue ama Iany dan Ndha sama Ipul. Layaknya orang pacaran, kita jalan bergandengan tangan. Sesekali gue berhenti dan duduk sama Iany di tempat yang teduh. Bercerita tentang hal-hal apa saja yang secara orang normal bakal bosen kalau nggak lagi pacaran. Yah, itulah hebatnya pacaran. Hal yang basi jadi manis. Hal yang membosankan jadi mengasikkan.

Udah ah... nggak habis kata kalau menceritakan masalah pacaran.

...

Next

Karena kecapean, saya pun tiduran di mushola yang sudah lama nggak terpakai. Kelihatannya sih angker gitu. Saat aku lihat ke belakang, tempat wudhu, ada bekas sayatan kulit.

Aku pun kaget...

"Kui bekas bedug...sayang...!!" Cetus Iany melihatku terkaget.

"Oalah, tiwas fikiranku macem-macem... Abisnya, tempat ini angker deh...!!" Seru gue.

"Halah...kamune aja sing keweden..!!" Lanjut Iany.

"Iya, aku takut. Lebih takut lagi kalau kehilanganmu...!!" Keluar bualanku.

"Iiiihh,, apaansih..!!" Jawab Iany sembari memukulku pelan.

Aku pun langsung memeluknya, agar dia merasa nyaman sama gue dan enggak mudah melupakan moment ini.

Yaps...

Demikian kisah cinta yang berawal dari handphone gue dan berujung kenekatan untuk menemui Iany. Dan itu satu-satunya cerita asmara hidupku yang gue perjuangkan melewati samudera...gunung...hutan....lah lah lah. Bukan, tapi melewati beberapa kota doank. Tapi nggak apa-apa, bisa terkesan di memori gue.


...


Sore menjelang,
Kami harus melanjutkan perjalanan ke Bandung. Kami pamit ma Iany dan Ndha.

"Masih punya duit gak ??!!" Tanya Iany.

"Masih...ada...!!" Jawabku enggak yakin karena inget duit kami yang tinggal dua gocengan dan beberapa pedang Pattimura.

"Ati-ati ya..." Pesan mereka.

"Pasti.."

Gue kasih selembar foto gue yang paling keren. Foto saat gue ngamen dan bawa gitar. Karena menurut pengertian gue, cowok yang bawa gitar itu macho... hohoho. Entah benar entah salah. Tapi kebanyakan, gue banyak salahnya dueh.

Kami kembali naik bis lagi. Kali ini lebih deket karena cuma sampai Kroya. Ongkosnya juga lebih murah. 6ribu rupiah.

Sedikit celaka,
Setelah bayar ongkos bis, duit kita tinggal 6ribu. Wah, Kroya-Bandung berdua cuma bawa duit 6ribu, kalau manusia normal pasti bakal khawatir dan nggak nyampe.

Berhubung kami bukan manusia normal, tepatnya sinting, maka hal itu bukan sebuah masalah bagi kami. Kami merasa seperti 'pegadaian' yang bisa 'mengatasi masalah tanpa masalah'

Sampai di Kroya, kami menunggu kereta apa saja yang bertujuan ke Bandung. Enggak sampai lama, sebuah kereta datang.

Kami naik dengan kaki kanan melangkah duluan biar nggak dapet masalah. Ajaran guru ngaji gue sih gitu...

"Duit gari 6ewu. Iso raiso kudu nyampe Bandung kie...!!!" Ujar Ipul

"Iso...iso...!!!"

Gue yakin bakal bisa nyampai Bandung.

Dan ternyata Dewi Fortuna benar-benar memihak pada kami.

Tak satupun ada Kondektur yang memeriksa karcis dari Kroya sampai Kiara condong, Bandung. Sia-sia gue menyiapkan adrenalin tinggi.

Tampaknya si Buncit udah pergi ke Binaria buat menikmati amplopnya. Dan si Kurus asik ngopi di saung sambil main gaple dengan tentara magang tadi. Hmz.

Di Kiara Condong kereta berhenti, finish. Lokomotif yang kecapean di bawa ke gudang untuk menjalani terapi, pedicure dan sauna. Sedang gerbongnya dimandiin dingin-dingin tapi nggak pernah masuk angin.

Jam 00.30 waktu Kircon.

Wew !!!!

Coba menghubungi Dika...

Tulalit...tulalit....

Sepertinya hendpon Dika lowbet. 5 sms kita kirim sekaligus agar Dika bisa jemput kami. Rumah Dika dari stasiun Kiara Condong jauuuh banget. Kalau harus pake duit 6ribu nggak bakal nyampe. Lagian udah malam angkot sudah pasti jarang-jarang. Itu juga kudu oper 4 kali.

"Ngopi dulu, Pul...!!!" Kata gue ke Ipul biar sedikit tenang.

Dia masih bergulat dengan handphone-nya berharap Dika bisa di hubungi atau minimal membalas pesan kami.

"Wis...nek emang Dika gak iso jemput, sesok wae dipikir neh. Penting saiki ngopi. Nginep kene yo gakpopolah...!!" Lanjut gue menenangkan Ipul.

Uang yang tinggal 6ribu, sekalian gue beliin kopi 4ribu. Yah, dua ribu sisanya. Rokok masih ada, ketenangan gue bertambah.

Saya pun mencari tempat senyaman mungkin buat ngopi, merokok dan persiapan molor. Beginilah enaknya kalau nggak bawa uang banyak atau barang berharga, mau nungging kek, mau jongkok kek, mau tengkurep kek, diamana saja, nggak khawatir.

"Woy.......!!!!

Gue nggak menoleh karena sudah asik tiduran dan gue fikir itu hanya suara orang-orang yang berbahasa tarsan dengan orang sebangsanya.

"Woiii...neng kene toooo...!!!"

Teriakan itu makin keras dan deket.
Gue masih nggak mau membuka penutup muka gue karena aku nggak mau tertipu oleh suara yang ditujukan ke orang lain, tapi gue terlihat Ge-Er dan menolehnya.

"Suwe men, Kaaa...!!!" Cetus Ipul.

Gue langsung membuka penutup muka gue. Hah, bener...ternyata Dika menerima pesan kami dan dia tahu dan dia bener datang menjemput kami bersama temennya.

Lega sekali malam itu.

Happy ending....


Kami bisa mencundangi kondektur kereta.
Kami bisa bertemu dengan Iany dan Ndha.
Kami bisa bisa sampai ke Rumah Dika.

Perjalanan yang sempurna.

Terimakasih semua.

Terimakasih Dika.

...

Buat Dika

Kembalilah seperti saat kita bisa bercanda.

Kembalilah...

Kami rindu saat kamu memakai sepatu boot tinggimu.
Kami rindu saat memburu musrom denganmu.
Kami rindu saat kamu mengepalkan tanganmu.
Kami rindu semua itu.



























Comments