Berdirinya Warung Mandiri


Jakarta senja itu...

Menyisakan mimpi yang tak terbeli. Bahkan terutang. Kadang kesabaran dan ketekunan tetap berimbuh kegagalan. Kagagalan yang membuat kehidupan makin berantakan. Seberantak jomblo yang merindukan cewek dalam poster kalender dan berharap si cewek datang menyapa dan berkata "sayang, kita jadian yuk..."

Sepenggal kegagalan dalam cinta sudah terlalu terbiasa. Sisanya hanya sakit hati, sembuh, godain wanita lain lagi, dan berulang lagi, begitu lagi, dan lagi sampai lagi-lagi gagal dan tidak bisa membedakan mana yang gagal dan mana yang lagi-lagi gagal. Setiap kata dibuntuti kata gagal, entah gagal lagi, lagi-lagi gagal maupun terus berulang gagal. Nasib-Nasib.


Kali ini,
Saya berbagi kegagalan yang bukan "awal dari kesuksesan". Setahuku gagal ya gagal. Bukan sebuah kesuksesan yang tertunda. Karena saat gagal, gue nggak pernah mencium seditpun aroma kesuksesan. Yang ada aroma busuk untuk mengakhiri hidup dengan nyemplung ke sumur galian, tapi yang belum digali pastinya.

Ini tentang kegagalan yang pernah saya alami dalam kerja. Gini ceritanya...

...

Kakak perempuan saya adalah seorang yang nggak mau diem dan istirahat. Ada saja kerjaannya. Pulang dari kantor, goreng rempeyek untuk disetor ke warung-warung. Terus nyuci, nyeterika. Malemnya masih nonton bola sambil lari-lari di dalem akuarium. Wah, nggak bisa ngikutin kebiasaan dia yang super melelahkan itu. Iler gue kadang keluar otomatis saat melihat kegiatan dia yang super padat. Sepadat jadwalku memikirkan kamu...

Gue, salah satu adiknya yang super nganggur kala itu, dianjurkan untuk mengelola salah satu usaha Mbak di bidang OTOMOTIP. Yaitu mengelola sebuah warung. Warung makan. Sebenernya yang diandalin adalah "SOP IGA". Ups, bukan otomotif ndink.

Terus...

Karena pada dasarnya, kakak perempuan satu-satunya yang gue punya ini sangat lihai dalam memasak. Dia seperti sudah hafal dengan bumbu dan rempah yang musti di adon untuk membuat sebuah karya cipta kuliner yang menggoda cacing dalam perut untuk segera memproduksi enzim ptialin sebanyak-banyaknya. Dan kalau nggak tahan bakal dikeluarkan dalam bentuk air liur.

Yaps, mbak gue yang pertama-tama memasak di tempat kontrakan yang bisa dibilang strategis, bangunan tempat Mbak ngontrak untuk dijadiin warung mirip selat malaka, jalur yang menghubungkan antara dua benua. Disitu, gue sebagai pembantu dan cleaning service. Tapi kalau mbak udah berangkat kerja ke kantor, gue yang kudu mengelola, dan menjaga keperawanan si warung hingga beranjak dewasa dan mandiri.

Yaps, itulah cita-cita gue dan mbak gue. Bisa menjadi warung mandiri, tanpa bantuan tembok buat berdiri. Nah loe.

Pertama-tama memang cemungUDh BaNed buat menjalankan usaha ini. Sesuai semangatnya, mas gue (suami mbak gue) membuatkan baliho bertuliskan WARUNG MANDIRI jelas terpampang di depan kanopi.

Singkat cerita,
Karena terlalu padatnya jadwal, mbak gue "mengadopsi" seseorang perawan bernama Maria... eh, bukan. Ga penting juga namanya (takut nyebutin) karena dia yang akan menjadi bahan olokan kali ini. Hohoho.

Sebut saja Inem,
Dia sangat getol dalam bekerja. Masak juga rapih, tapi sayang suka teledor kalau menggoreng bawang. Proses menggoreng bawang goreng ini memerlukan pengapian yang pas dan sudut kompor serta posisi wajan yang simetris. Dan Inem tidak mengindahkan hal tersebut. Alhasil, si bawang goreng jadi gosong. Melihat nasib si bawang yang gosong, gue jadi teringat ma diri sendiri saat bercermin.

Selain keteledoran diatas, masih banyak keteledoran yang lain lagi. Kalau gue jelasin bisa nyampe adzan subuh nggak kelar-kelar. Inem masih gadis, em... maksudnya belum menikah. Jadi dia kerap kali telfonan dengan Leonardo diCaprio. Kalau udah handphone di telinga, dia lupa segalanya. Kadang ada orang beli dia kira hanya suara rintikan hujan yang makin mempertajam suasana keromantisan telfonannya dengan pria di hatinya.

Tak jarang gue marah ama dia karena Inem lebih mementingkan kepentingan pribadi dan mengesampingkan kepentingan negara..
eh, warung.

Disisi lain sih, gue marah sebab iri karena gue nggak ada yang ditelfon dan dia dengan mesranya ngobrol dengan calon suaminya lewat media pengembangan ciptaan Graham Bell tersebut.

Yaps, gue jadi serasa pengen balik lagi ke tahun dimana Graham Bell hidup, dan mencekiknya dengan karet gelang biar nggak ada yang namanya telphone. Gue benci dan iri ma orang-orang di sekitar gue yang dengan mesranya telfonan, sementara gue, ada sekali-sekalinya sms dari operator

"Terima kasih telah menjadi pelanggan setia Indosat.......bla-bla-bla"

Pernah gue balas

"Terima kasih kembali. Sekali-sekali telfon dong, jangan sms doang"

Gitu,
Tapi nggak ada balasan lagi. Gue berani begitu karena gue tahu, mbak-mbak operator mayoritas cantik. Secara, orang pilihan nan cerdas getooo pastinya.

Oke,,
Kembali ke Warung Mandiri.

Karena udah ada tukang masak (koki), jadi mbak gue udah jarang ke warung. Setelah dengan proses belajar mengajar paket-B yang memerlukan waktu 2 minggu, gue akhirnya lulus dengan nilai  D untuk bidang perbelanjaan dan manajemen administratif.

Apalah itu, gue udah dipercaya ama Mbak gue untuk mengelola keuangan dan segala macemnya untuk kelancaran usaha ini.

Gue tidur di warung, bangun pagi jam 5 dan langsung menuju ke tempat teramai pagi itu. Apalagi kalau bukan pasar. Pasar adalah tempat yang akrab bagi gue dalam menjalankan misi belanja bahan masakan di warung.

Disitu berbagai macam spesies Ibu-Ibu ada. Dari yang suka nawar satu ikat kangkung sampai berjam-jam, sampai yang berjilbab ribet banget kayak mau pergi umroh. Dua spesies itu yang paling unik gue temui.

Satu lagi,
Yang khas dari pasar ini adalah seseorang penjual tempe. Ya, dia satu-satunya penjual tempe yang paling terkenal. Mbak gue yang udah tinggal di daerah Pademangan bertahun-tahun sampe hafal dan berlangganan dengan tuh penjual.

Sosoknya misterius.

Perawakannya tinggi kurus.

Kalau datang, jarang aku tahu.

Tiap kali aku pesen tempe mentah ama dia, tuh orang menjawab dengan menodongkan pisaunya ke gua.

"Lima yang besar, diiris !!! Dua yang kecil, gausah diiris"

Gue pertama grogi ama dia, kayak waktu baru pedekate ama someone.

Dia cowok dan berkumis.
Memakai celemek, dan pisaunya tak pernah terpisah dari tangannya. Pisau itulah yang sebenernya melengkapi dia menjadi pedagang tempe paling melegendaris di pasar tsb. Semua penduduk lama yang tinggal di seputaran Pademangan dan sering belanja, pasti tahu siapa dia. Rajanya tempe. Yaps, dia terkenal bukan karena bawaan orang tua kayak Al-El-Dul. Tapi dia sungguh mahir mengiris tempe menjadi ukuran tertipis yang pernah gue lihat.

Kualitas memang penting. Tempe yang dia jual juga sangat berkualitas, dan satu tempe besar bisa jadi 17-20 irisan. Kalau pedagang tempe mentah yang lain mah, gabakal bisa segitu.

Pernah suatu hari gue nggak setia ama dia, yaitu beli tempe ke orang lain. Itu karena gue adalah orang yang suka coba-coba. Buat tempe sih boleh coba-coba, tapi kalau buat anak, nggak boleh coba-coba. Itu fikiran yang terbesit saat itu.

Nah, efeknya sangat fatal. Tempe yang aku beli dari orang lain tidak diiris karena si penjual hanya menjual doank. Harganya sih sedikit lebih murah. Tapi kualitasnya nggak sebagus yang dijual oleh abang-abang kumisan raja tempe tadi. Dan setelah gue iris sendiri dengan kemampuan supranatural gue, satu tempe besar hanya jadi 12 lembar. Kalau digoreng hanya menghasilkan duit 6ribu. Itu juga bentuknya nggak karuan banyak yang pecah terbelah saat digoreng. Dan pelanggan mengkritik habis-habisan gue.

Yaps,
Sejak saat itu, gue trauma beli tempe kalau bukan di bang kumis bercelemek pemegang pisau panjang kayak pattimura, dialah si abang Rajanya tempe.

Seiring berjalannya waktu...

Udah ah,
Kegagalannya belum gue ceritain.
Masih banyak hal yang seru saat di Jakarta dan baru "engeh"


...



Comments