Gadis Kacamata 4

Pertemuan kedua malam itu sungguh mengesankan. Aku disuguhi buka dengan 3 macam minuman oleh Santi. Es jus jambu, air putih, dan susu segar (awas ngaco).

Kami buka berdua, karena kakak Santi yang juga cewek, sedang kerja. Di kontrakan situ, Santi berdua sama Kakak perempuannya. Kata Santi sih, udah mau nikah. Dan si Kakak sudah punya calon suami.

"Sedang kamu, juga udah punya calon?!" tanyaku memancing.

"Ih, apaan sih. Kerja juga belum punya tabungan. Gimana mau nikah?!" balasnya polos.

"Iya sih, apalagi cowok. Kudu punya persiapan matang" jawabku.

"Nah, udah nyadar. Makanya, kerja yang rajin. Jangan boros-boros. Rokok tuh kurangin!!" timpalnya tegas.

"Yee... Demo tuh pemerintah, biar nutup semua pabrik rokok!!" gue sedikit ngeyel biar jadi perdebatan

Yaps, bukan gue namanya kalau nggak ngeyel. Santi dengan bijaknya memberi alasan-alasan kenapa kudu berhenti merokok. Akh, wanita emang gitu. Tapi gue maklumi, dan Santi juga masih memaklumi gue.

Di kontrakan 4X7 meter itu, kami mulai bertukar pengalaman dan candaan. Sederhana, tapi bahagia. Sungguh mulia Tuhan memberi kesempatan pada gue untuk merasakan indahnya suasana Paris van Java. Bukan di BSM, ITC maupun Dago, tapi di sebuah tempat kecil dengan sewa 450 ribu per bulan itu.

Rasa malasku untuk mengais rupiah di Kota Kembang, sedikit terkikis dengan hadirnya sesosok perempuan dari ordo "ngapak" tersebut. Kadang gue berfikir, apakah selamanya gue bakal kerja merantau, dan hidup selayaknya manusia perantauan pada umumnya, yang hidup di kota dengan tempat pas-pasan dan gengsi yang besar?!!

Akh, masa bodoh. Fikiranku mulai mengkhawatirkan masa depan. Kecemasan menghadapi hari-hari esok menghantui otakku. Aku takut tak bisa bahagia. Aku takut menghadapi dunia. Ya, layaknya seorang sopir angkot yang takut tak ada penumpang dan musti kejar setoran untuk sang majikan.

Peettt.....

Tiba-tiba lampu padam ditengah kebersamaan kami. Rupanya PLN tahu gue banget, dengan bijaknya mematikan listrik di jalur situ. Ups... Gue terlalu percaya diri. Usut punya usut, ternyata memang sengaja ada program mati listrik bergilir.

Pantesan, nggak ada hujan maupun angin, listrik tiba-tiba padam. Tak ada persiapan sebelumnya, jadi Santi juga nggak punya lilin maupun senter. Untung hape yang aku punya ada fitur flashnya. Dengan kutaruh menghadap bunga hiasan yang ada di meja, putik bunga hiasan itu berkerlap-kerlip indah banget.

"Itu dapet beli di Pasar Cimahi. Iseng-iseng pas ngabuburit kemarin"
Cerita Santi,
Membuka obrolan lagi setelah suasana tenang pasca panik karena tak ada penerangan.

Jadi super romantik malam itu. Jadi super lebay pikiranku. Tapi juga jadi super tenang dan nyaman di kontrakan situ.

Kami sedikit menurunkan volume pembicaraan. Yang sebelumnya kami tak henti-hentinya berdebat dan saling bercanda, berubah melow dan bicara menerawang ke awang-awang. Bicara ngelantur tentang hal-hal yang paling nggak penting.

Santi bercerita tentang poster yang tertera di pintu, tentang AC Milan, tentang sepatu, tentang hal-hal yang bukan urgent. Hal itu membuat kita merasa di awang-awang. Sambil menatap subjek blur, tanpa fokus, pikiran kita sejenak terbebas dari hal-hal serius soal kehidupan ini.

Tak...tik....tak...tik...

Hanya detak jam yang terdengar. Dan sayup-sayup, kudengar deguban jantung kami yang tak berirama. Kami mulai seperti sepasang unggas yang terpojok di lautan senyap. Semakin larut, semakin kami tak sadar bahwa masih ada milyaran manusia diluar sana yang hiruk-pikuk dengan aktifitasnya.

Akh...

Sejenak, logika dan akal sehatku mati.

Comments