Gitar Menelusuri Jalan


Setelah meminta izin untuk menitipkan motor yang aku bawa, saya memarkirkannya di bawah pohon mangga. 


Bagaimanapun, dia gak boleh kepanasan kalau ada tempat yang lebih rindang. Kalau gak ada, ya terpaksa harus panas-panasan juga seperti empunya. 


Pemilik rumah tempat aku menitipkan motor juga punya usaha wartel. Itulah alasan kenapa saya enggak begitu khawatir kalau-kalau ada orang jahil. 


Tinggal kring aja ke tukang urut (karena waktu itu jarang handphone dan wartel masih dalam masa kejayaannya).


Dulu pas sekolah sd, bawaanku buku dan pensil. Buku yang sudah raib sampulnya. Karena bawanya di tenteng. Gak pakai tas kayak anak sekarang yang gambarnya kepala burung yang sedang marah karena belum dikasih makan. 


Terus naik ke SMP aku udah bawa tas. Karena level itu sudah masuk lingkungan kecamatan. Siswa nya pun juga dari berbagai kecamatan yang berbeda-beda. Di level ini berbagai macam tas sudah nampak di pakai oleh para siswa. 


Yang paling mendominasi, tas hitam dengan coretan Stipo yang bertuliskan band maupun kata mutiara yang dianggap prinsip. 'BALADEWA-PADI-simbol sayap patah-sesuatu yang tertunda' 


dsb.


Untuk SMA, bawaanku juga masih tas. Tas merupakan faktor penting. Apalagi untuk para cewek. Disanalah 'nyawa' mereka. 


Tempat menyimpan kaca untuk berdandan + bedak + tissu + lipsgloss + softex (ups,maaf saat secara tak sengaja aku ngelihat itu waktu resleting tas ada yang kebuka). Tanpa ragu aku samperin aja si pemilik tas. 


"Lagi M ya ?! Ntar kalau aku banjir, pinjem pembalutnya ya" hohoho. 


Dengan sedikit kata tersebut, sudah memicu konflik dalam kelas yang amat dahsyat. Penghapus board menjadi granat. Kursi menjadi benteng. Tas-tas yang lain jadi perisai. 


Disitu aku menyimpulkan bahwa dalam masa menstruasi, cewek berubah jadi singa betina.


Apa bawaanku setelah lulus dari sekolah-sekolah tadi ??! Gitar. Ya,karena gitar lebih mengasikkan daripada tas-tas ku yang berisi buku yang hanya berisi rangkaian huruf A-Z dan angka 0-9. 


Lain nya hanya simbol yang gak jelas dan gak berguna bagi hidup saya. Sementara gitar, dia mampu menciptakan suara dan melodi yang indah. 


Berhubung saya tidak meneruskan kuliah formal,karena gak ada biaya + niat, maka mempelajari kunci-kunci gitar sebagai gantinya. Lebih memberi pengaruh buat hidup saya langsung. 


Kesenangan akan memainkan gitar lebih dan jauh lebih mengasikkan daripada menghadapi pelajaran-pelajaran di sekolah yang sebenernya menurut saya hanya teori yang gak berguna di kehidupan nyata saya.



Kembali ke cerita

Itu hari pertama saya ngamen. Mencari penghasilan dari gitar yang saya punya. Itu terdorong dari rasa ingin tahu seberapa besar kepercayaan diriku menjadi seorang pengamen. 


Seberapa tangguh mental ku menghadapi masyarakat. 


Seberapa kuat lagu yang kunyanyikan bisa didengar khalayak. 


Dan satu hal lagi yang pasti, terdorong keuangan yang berbulan-bulan tanpa penghasilan. Lagian ada beberapa temen bilang


"buat apa bisa main gitar kalau tidak bisa menghasilkan uang"


Sebenernya udah aku jawab "kan hobi". 


Tapi karena situasi dan kondisi memungkinkan, aku mulai berfikir, bener juga. Ngapain aku gak ngamen aja..


Aku berjalan dengan seorang temen. Untuk kali pertama ngamen, memang berat banget mulut ini mengeluarkan vokal. Kaku banget jari ini memindahkan kunci-kunci gitar. 


Lagu pertama dan untuk rumah pertama berhasil menghasilkan duit. Si punya rumah memberi sebuah receh gope'an buat kita. Kami ngamen di rumah-rumah. 


Temenku yang jadi sekretaris disini. Aku memang butuh dia karena pertama kali ngamen tuh kayak mau menghadapi dunia yang bersiap mencemooh pada kita. Setelah berhasil menaklukkan satu rumah, aku istirahat dulu. 


Nafasku ku atur seperti pemanasan dalam olahraga yang diajarkan di SD.


Setelah semuanya kembali normal, kami melanjutkan perjalanan lagi. Bunder, begitulah nama panggilan temenku itu, memberikan semangat kepadaku. Seperti yel-yel yang diteriakkan oleh Cheerleader. 


Aku bangkit dan bernyanyi lagi. 


Rumah-rumah selanjutnya kutaklukkan hanya beberapa menit. Karena tak sampai satu lagu penuh aku nyanyiin, mereka udah keluar dan ngasih duit pada kami. Entah karena murah hati atau entah karena jengkel denger lagu yang aku nyanyikan. Aku tak menanyakan dengan yang punya rumah. 


Biarlah dia simpan sendiri penderitaan itu.



Beberapa bulan kemudian, aku sudah siap mental dan bener-bener menjadi pengamen. Banyak suka dan duka disana. Tapi banyak dukanya. Bayangin aja, jalan kaki bahkan hampir seharian, di pepanasan, cuma mau dapet gope'an. 

Ada juga yang ngasih ribuan, tapi jarang sekali. Pernah lagu 


"caping gunung" 


memecahkan rekor dengan income 2 ribu rupiah pada sebuah rumah. Bapak-bapak yang ngasih duitnya begitu menikmati lagu yang kubawakan. 


Tapi yang paling sering adalah 


"prei mas" 


dan aku harus enyah dari hadapan rumah tersebut. Seolah sebagai pengganggu ketenteraman dalam sebuah hunian.



Pada satu cerita

Pas aku kelelahan dan belum menemukan sebuah warung es di sebuah daerah yang tak tahu namanya, aku meminta air putih di sebuah rumah nenek-nenek yang renta. Ini tak jarang aku lakukan. 


Saat haus melanda, aku sengaja meminta air pada si pemilik rumah. Dan si nenek tersebut nanya-naya pada saya. Bener seorang pengamen atau si pengutil cucian,hahaha,mungkin gitu penyelidikannya.


Tapi tidak,si nenek malah bercerita panjang lebar. Tentang masa mudanya yang sering ikut memanen padi di daerah saya. Tentang punya saudara yang baik di daerah saya. 


Kebetulan si nenek hafal tempat tinggal saya. Dan karena si nenek membuatkan saya es  di sebuah teko (tempat air dari plastik) maka saya betah berlama-lama di sana. 


Si nenek pun curhat, bahkan sampai nangis. Tentang kisah dirinya yang renta, sendiri di rumah, dan anak-anak nya sudah berumah sendiri serta jarang menengok si nenek. 


Aku gak ikut nangis. 


Tapi cukup terharu. Si nenek pun terlihat lega karena ada pendengar. Walau hanya sekali itu bertemu dan sekali-sekalinya. Cukup memberi pelajaran, betapa sedihnya hidup di umur tua tanpa kehadiran anak-anak nya. 


Anak yang dari kecil di harapkan mampu melengkapi kebahagiaan di masa tua nanti, malah mengacuhkan si orang tua. Itu suatu kepedihan. Pelajaran yang tak kudapatkan di sekolah. 


Pelajaran tersebut hanya kudapatkan di jalanan. Dari seorang nenek-nenek renta.


Tak hanya cerita duka kawan. Di jalan, terik matahari menyerang, hal yang paling indah adalah menemukan sebuah tempat yang sejuk. Rindang. 


Apalagi di seputar pegunungan lawu, banyak terdapat sungai yang curam. Pemandangan yang luar biasa. Kalau itu terjadi saat sudah mendapatkan recehan dan bisa beli es,akan membuat sebuah kelengkapan. Akan betah berjam-jam di tempat itu. 


Melepaskan capek karena berjalan akan terasa sempurna. Itu kalau pas lagi ngamen. Saat aku coba lagi di hari yang berbeda tapi cuma main doank, rasanya juga biasa aja. Gak ada spesialnya. Malah malu sendiri kalau cuma main dan diam nongkrong di pinggir jalan. 


Kalau pas ngamen kan bebas. Mau istirahat dimana aja juga pantes. Itulah arti kebebasan menurutku. Bebas dari segala hal. Gak harus datang kerja jam sekian, kerja juga gak ditentukan. Kalau kerja ikut orang atau perseroan, gak akan pernah kudapatkan kebebasan itu. 

Kemerdekaan itu.




"Kemerdekaan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak harus tertekan fikiran dan tenaga untuk mecukupi kebutuhannya"

Comments