Ambruknya Warung Mandiri


Ibu kota lebih kejam dari Ibu tiri

Saya rasa kalimat tersebut terlalu ekstrim. Karena saya belum pernah mendapatkan kejamnya ibukota juga belum merasakan kejamnya ibu tiri.

Nah, kali ini saya akan melanjutkan cerita tentang Warung Mandiri. Yap, bukan hanya bank saja yang Mandiri, tapi warung juga ada yang merk-nya Mandiri.

Saya sudah sampai pada tahap perkembangan untuk usaha yang didalangi Mbak saya tersebut. Warung ini sudah makin banyak pelanggan. Tapi namanya usaha, pasti ada maju dan mundurnya.

Oke, berawal dari warung ini, gue mengenal lebih dalam kepribadian Jakarta. Tiap pagi menyongsong, jalan-jalan dipenuhi sesaknya nyawa manusia untuk memulai rutinitasnya. Termasuk gue, setelah berhadapan dengan Pattimura berpisau panjang di pasar, gue langsung menyikat abis tuh sayuran menjadi berkeping-keping.

Inem sebagai koki lebih fokus pada kompor dan masakannya. Gue lebih fokus pada pisau buat membelah sayuran. Tiap hari, warung kami berganti menu di sayuran yang berkuah. Kadang sayur nangka muda, kadang sayur asem, kadang bayem, dan sebagainya. Untuk lauknya macem-macem. Bandeng, rendang, udang, ikan mas, bawal, telur ceplok sampai dadar dan masih banyak lagi.

Paling demen dan paling disukai oleh pelanggan adalah tumis jamur. Yaps, entah kenapa jamur ini di gemari oleh masyarakat. Padahal kalau di kulit, bakal gak mengasikkan banget. Gue pribadi juga demen ama tumis jamur. Pokoknya gak ada alasan deh buat nggak suka.

Pelanggan kami juga banyak dari karyawan atau buruh. Ada juga berbagai macam cewek disitu. Gue jadi grogi kalau meladeni segerombolan karyawati. Dan lebih-lebih, banyak diantara mereka yang masih lajang. Yah, sudahlah. Lagi nggak pengen berkoar masalah wanita. Suasana hati gue sedang parah. Tidak ada kelucuan saat kegundahan hadir.

Maaf pemirsa.

Langsung aja,
Setelah lebaran, banyak home industri yang menampung pelanggan kami gulung tikar. Makanya, warung kami juga mendadak sepi. Dan para kuli yang biasa nge-bon dulu, nggak bisa melunasi hutangnya karena berbagai macam alasan.

8 bulan akhirnya warung yang dirintis oleh gue dan Mbak gue ditutup untuk selamanya. Tivi, etalase, dan berbagai peralatan masak yang masih bernilai jual, kami jual dngan harga yang nggak lazim. Yah, idep2 buat mengobati luka di batin.

Dan kontrakan dilanjutkan oleh pihak ketiga dan konon kabarnya dijadikan konter. Mbak gue kembali menjalankan aktifitasnya sebagai sekretaris di sebuah optik, dan gue kembali ke tempurung kelapa.




Comments