- Get link
- Other Apps
Seperti biasa,kami pulang jam 17.20 dengan cuaca yang hitam kelam. Saat itu sudah menjadi tradisi tiap orang bahwa mendung yang hitam kelam adalah momok yang menakutkan. Layaknya anak SD yang mendengar kabar akan ada pencacaran. Bak nenek-nenek yang akan melihat anaknya berenang di kolam penuh hiu kelaparan dengan taring tajam.
Oh ya,saat itu saya kelas 1 SMP di salah satu kecamatan Widodaren yang kala itu SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Dengan berkendara sepeda Phoenix warna kecoklatan (sebenarnya warna biru tua,tapi berhubung dikuasai sebangsa karat jadi kecoklatan),kami bergegas pulang ke rumah masing-masing.
Kala keluar dari pintu gerbang sekolah,petir sudah membuat irama tak beraturan yang siap mengoyak para awan yang sudah kelam agar jatuh ke pelukan Bumi Pertiwi.Semua siswa pun berhamburan tanpa mempedulikan teman sekelas maupun teman yang tadi siang mentraktir es cendol di kantin Mbak Sri (ibu kantin identik dengan nama Sri,dari kantin dalam maupun kantin luar bahkan udah SMA juga Sri).
Tapi untunglah persatuan teman sekampung saya saling menunggu yang tertinggal. Hingga kami dapat Pool Position di barisan akhir.Kesenangan pun dimulai,setelah kami melewati hutan Gebang yang sekarang gundul kayak mas Deddy C.
Seiring petir yang tak beraturan dan angin kencang yang membuat tak berdaya segala bentuk keperkasaan tanaman,hewan bahkan manusia sebagai penguasa planet biru ini. Mereka (Sang petir) mengamuk seolah-olah Gundala putra mereka di curangi oleh manusia saat bermain kelereng bersama. Sedangkan sang Angin bertiup kencang seperti meniup lilin ulang tahun yang ke 170687 (bayangin aja kalau lilinnya sebanyak itu).
Satu meter,dua meter saya masih kuat mengayuh sepeda Phoenix yang amat berat untuk seukuran anak kelas 1 SMP. Tak ada yang menyangka,tiba-tiba ada serangan burung ababil yang menyerang pasukan tentara raja abraham.
Wah,di fase ini kami sebagai antagonisnya. Kami kuat mengayuh sepeda kami. Tapi sang angin terlalu bersemangat meniup lilin-lilinnya. Sungguh lawan yang tak sepadan pemirsa. Bak irak dengan sekutu. Dan tanpa perlawanan yang berarti,kami pun jatuh dan K.O.
Sejenak aku tak sadarkan diri. Kulihat sekeliling,hanya ada air,cahaya kilat dan benda keras sebesar jempol kaki saya terus menjatuhi saya. Berusaha berdiri dengan salah satu sepatu di kaki saya lepas entah kemana. Keseimbangan ku pun mulai pulih. Tapi indra perasa belum sepenuhnya bisa merasakan apa yang menjatuhi kami dengan kecepatan sedikit dibawah kecepatan cahaya (otak belum bisa berfikir normal,jadi begitulah penafsiranku).
Ada bayangan hitam,nah satu teman kutemukan. Dua teman dan akhirnya kami berkumpul. Dengan diskusi singkat dalam durasi detik,kami sepakat berlari menuju ke timur bukan ke barat (karena bukan sedang mencari kitab suci).
Phoenix aku tinggalkan. Sepasang sepatu yang selalu setia mengiringi langkahku juga terpaksa ku pisahkan dari yang lain karena lepas entah kemana. Maafkan aku Bapak,karena tak mampu manjaga si Phoenix dengan baik. Maafkan aku si kiri,karena membiarkan si kanan raib entah kemana.
Langkah demi langkah kami lewati. Dengan sisa tenaga yang kami miliki,sampailah juga kami di sebuah sumur bor yang struktur bangunannya cukup kuat menahan terpaan angin. Oh ya,kami dari dua kampung yang berdempetan dan sekolah di tempat yang sama. Kami berenam dan saya satu-satunya anak laki-laki disitu.Setelah beberapa menit berdiam diri dan mengembalikan sisa-sisa ketidaksadaran kami yang tercecer karena murka sang petir,tiupan sang angin dan serangan ababil,kami menyadari bahwa salah satu teman saya tidak ada di tempat kami berteduh. Ya,kami khawatir bercampur gelisah.
Belum selesai ketakutan kami,ditambah kekhawatiran kami. Salah satu teman kami bilang kalau dia udah duluan dan ngacir ampe finish kali. Yaudah,kita berteduh aj disini,saran teman yang lain.Kulihat disekeliling tempat jatuhnya air. Bongkahan es es kecil padat menghiasi pelataran dan permukaan jalan.
Kami baru menyadari bahwa yang jatuh dari langit dan menimpa kami adalah es. Bukan batu panas yang dijatuhkan burung ababil seperti cerita legenda. Dalam hati,saya berdoa jika saya bisa selamat dan bisa berkumpul dengan keluarga,saya akan menjalani hidup yang lebih baik. Menjalankan segala perintahMu dan menjauhi laranganMu. Amien. Itulah doa kala itu.
Hujan mulai reda. Tinggal gerimis kecil yang menyapa tiap insan pasca kegelapan yang amat gulita.
Kepala dusun,yang merupakan ayah dari salah satu teman kami datang dengan membawa senter dan harapan bagi kami. Kami lega dan bisa bernafas dengan teratur. Kami pun pulang dan beberapa warga kampung yang masih saudara teman kami menyusul ke tempat kami berada.
Phoenix dan sepatu kananku kuserahkan pada salah seorang penjemput untuk mencarinya. Setengah perjalanan pulang,ibuku lari tergopoh-gopoh membawa obor yang setengah mati karena tersiram gerimis datang untuk memastikan anaknya yang paling kecil ini masih ada di dunia.
Sesampainya di rumah,lantai kami yang masih tanah jadi seperti sawah yang baru digenangi air. Sebagian es mesih belum mencair. Begitu pun trauma yang masih membeku di kepala. Dua hal yang membuat saya lega,teman saya yang duluan ternyata sampai garis finish(rumah) dengan selamat juga. Dan satu lagi,trauma itu sedikit demi sedikit pudar seiring berjalan nya usia juga karena udah jarang hujan es di tempat kami lagi.
Pesan saya,jangan pernah mencurangi Gundala pas main kelereng bersama dan jangan rayakan ulang tahun sang Angin di tempat kalian.
Comments