Gadis Kacamata 6

  Terkadang, kita sebagai manusia akan rela mengorbankan segalanya untuk orang yang kita sayangi. Cinta manusia seperti sebuah racun yang menyusup dalam tiap sel darah. Dia menyelimuti logika dan mengesampingkan matematika.
  Keyakinan dan cinta, dua hal yang mampu membuat kemanusiaan menjadi buta. Rela melakukan apa saja untuk mempertahankan apa yang diyakini dan dicintai. Kedua hal ini juga yang kadang dimanfaatkan sekelompok oknum untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
  Tapi, keyakinan dan cinta pula yang masih menjadikan manusia mempertahankan kemanusiaan. Tanpa keduanya, tak ada bedanya kita dengan ayam kampung.

-Makan, bereproduksi, mati-

  Santi,
  Sejenak gadis inilah yang mengajarkanku arti sebuah keikhlasan. Ikhlas untuk mengikhlaskan hal yang tak bisa diraih dalam hidup. Ikhlas untuk menerima bahwa kita adalah manusia yang punya obsesi lebih tinggi dari kemampuan. Ikhlas manakala jalan hidup ini tak semulus paha Aura Kasih.
  Sore itu, gerimis menyambangi Bandung. Matahari mengadu kasih entah kemana. Tak nampak semenjak sirine berakhirnya jam makan siang menyelit. Mungkinkah ia menjenguk bulan?! Mungkinkah memeluk bintang?!!
Ah, fikirku tak ingin kesana.
  Aku hanya ingin melawan cambukan-cambukan kecil dari sang air. Menghindari tiap lubang becek di jalanan. Ya, sore itu aku buat janji lagi dengan Santi.
  Sisi humorku lenyap, tegang dan tanpa canda hari itu kulalui. Sepertinya Mang sopir angkot juga punya pemikiran yang sama. Hari telah senja, namun gerimis tak kunjung reda. Jatah setoran masih kurang setengah. Dan laknat mereka tertuju pada cuaca. Ya, cuaca yang menghipnotis warga untuk bergumul dengan kasur empuknya. Enggan bepergian untuk menyesakkan bangku-bangku angkot itu. Dan kini, ruang kosong itu hanya aku isi.
  Tepat dibalakang bangku sopir, yang kebetulan sopirnya sudah akrab karena memang angkot yang dikendarai adalah salah satu armada Kakak saya, menjadikan umpatan dan keluh kesahnya terdengar jelas.
  Sehari-hari, aku memang sering nongkrong di bangku angkot tsb. Sejak keluar kerja dari operator air warga komplek, aku memilih hidup bergelantungan di pintu angkot warna ijo jurusan Cimindi-Cipatik. Saat karyawan/i keluar atau masuk kerja, saat itulah kesenangan sedikit timbul. Angkot bakal sesak, dan kami bakal disuguhi bau sedap dari mereka. Akh!

***

Sehabis Isya,
  Kuperhatikan sekeliling, tak ada Santi. Kami janjian di depan salah satu pintu gerbang pabrik. Ku tengok kanan kiri layaknya detektif Conan mencari tanda-tanda kemunculan Santi. Mendengus-dengus laiknya anjing piaraan FBI.
Sepuluh menit berselang, tak muncul pula kehadirannya. Kulirik handphone yang daritadi cuma diam. Tak ada pesan. Akh, aku pun mencari-cari ke gang. Ini di luar perjanjian. Aku hanya kurang sabar kalau musti menunggu sambil diem di pojokan gerbang sembari ngupil pake jari kaki.     Kulihat seseorang yang sebenernya nggak mirip Santi, tapi tetap ku mendekat -siapa tahu Santi operasi plastik dan seketika wajahnya berubah- akh, akal sehatku terselimut objek fikiran konyol. Untuk sedikit menipu diri sendiri agar tenang.

Krkkkk...krkkkk!!!

Hapeku bergetar.
Satu pesan baru.

  "Kamu dimana? Aku sudah nyampe depan gerbang nih!!"

Pengirim: Santi
Yaps, sontak aku keluar dari gang yang sama sekali nggak perlu kuingat namanya.
Dengan Motor Matic, Santi datang menghampiriku. Ye.... Setelah basa-basi pada umumnya, kami pun berencana mencari minuman penghilang dahaga. 
Tahu aku nggak kerja, Santi langsung nyelonong ke kasir di sebuah minimarket dan membayar semuanya.

  "Nih, udah aku pilihin susu buat kamu!"

  "Hm... Makasih"
 
  "Banyak-banyak minum susu, biar badan sehat dan nggak kering-kering banget gitu!!! Jangan kopi mulu!!!" Tandasnya sambil ngelirik lengan kerontang, bersisik hitam yang selalu setia dikiri kanan jasadku. 

  "Iyaaaaa....!!"

  Aku sedikit malu melihat diri sendiri. Tapi Santi blak-blakan dan nggak berpaling dariku.
Sambil nongkrong di depan minimarket dan menunggu gerimis reda, kami bercanda dan sesekali Santi dengan kata-katanya yang keibuan, memberi semangat padaku untuk lebih merawat diri.
Yaps,
Dia tahu betul keadaan orang seperti saya ini. Karena Santi juga punya adik laki-laki yang sepantaran denganku. Jadi tahu benar karakter pria dua tahun di bawah umurnya. Kurang merawat diri, nggak berfikir panjang, suka hal-hal baru dan nggak jelas. Akh, dasar Santi... Tetep saja memakluminya.

Sejam kemudian...

  Setelah rintik gerimis reda, kami mulai pengen cari suasana baru, Santi punya ide untuk beli batagor langganannya. Tempatnya lumayan jauh. Setengah perjalanan dengan Matic-nya.

  "Kok....!!"

  "Ada apa, Han?!!"

  "Bisa-bisanya kamu berlangganan batagor jauh gini dari kontrakan??!!"

  "Oh, jadi gini. Sepupu ada yang tinggal deket sini. Aku sering main kesini. Tuh, gang-nya!!" jelas Santi, sambil menunjuk sebuah gang yang bagiku nggak jelas. Karena banyak sekali gang-gang disitu.

  "Ntar mampir sana, ya!!!" tambahnya.

  "Boleh, tapi ada peringatan dilarang ada tamu pria nggak?!!"

  "Ah, ga apa-apa, kok. Disini kontrakannya cowok-cewek. Jadi ga masalah" tandasnya. 

  "Oke deh"

-sambil nunggu batagornya mateng-

  Aku berdiri berdekatan banget dengannya. Tangannya kugenggam. Santi hanya diam, lalu mengarahkan sepasang matanya yang terlindung kacamata minus tiga itu untuk menatapkannya pada mataku. 
  Sejenak, kami hanya dapat berbicara dalam hati masing-masing karena otak kami sama-sama tak bisa menerjemahkan apa yang ada dalam benak.
Sisa tumpahan hujan masih terasa sejuk di kulit.
  Tetesan air dari dedaunan menyertai keheningan malam. Hanya suara peraduan adonan dan minyak panas dari wajan abang batagor yang terdengar jelas. Menggeliat, seolah sang adonan dibuai sang minyak. 

Entah berapa detik,

  "Kamu tinggi banget sih, Han!" Ucapnya memecahkan keheningan.

  "Ah, kamu juga udah ideal kok untuk seukuran wanita"

  "Yaudah, aku berdirinya disini aja biar sama!!!" pungkasnya seraya berdiri di sebuah pondasi saluran air. 

  "Tuh kan sama...!!!" Lanjutnya sambil mengadukan kepala kepadaku. 

  "Hhhhh...."

  Setelah selesai diracik dengan tangan lihai amang batagor, kami bergegas ke kontrakan sepupu Santi.
Sesampainya di depan pintu kontrakan, tak ada siapa-siapa. Pintunya pun terkunci. Melihat aku sedikit bingung, Santi langsung mengeluarkan kunci dari sakunya. Dia menjelaskan kalau sepupunya sedang shift malam, dan dia pegang kunci cadangan.

  "Oh..."

Aku lega.

  "Ayo masuk, masa mau di depan pintu doank!!!"

  Aku pun masuk, duduk. Santi sibuk ke belakang mencari piring dan sendok untuk tempat batagor yang barusan kami beli.
  Entah dapat sugesti darimana, otakku membayangkan hidup di kota, kerja tiap hari, tinggal di kontrakan begini, bersama Santi, bahagiakah?!!!
  Sambil kucermati tiap sudut kontrakan, aku berangan hal-hal selayaknya telah hidup disini. Membangun rumah tangga, membesarkan anak. Dengan ngontrak, seluas kamar satu orang kalau di rumah kampung. Naluri 'kampungan' ku seperti tak dapat menerima keadaan seperti ini. Dimana di kampung, aku dapat leluasa menghirup udara segar sedalam-dalamnya. Memanjakan mata dengan pandangan yang luas. Memandikan diri dengan panasnya persawahan. 

  Akh, lamunanku sampai kemana-mana.

  "Nih.... Dimakan dulu!!! Ngelamun aja!!"
Cetus Santi. Memecahkan imajinasi nggak jelasku.
Kami pun meneruskan canda kami sambil makan batagor langganan Santi. Entah seperti apa rasanya, aku tidak ingat. Karena indera perasa, kalah berpengaruh dengan rasa bahagiaku. Yaps.

  Malam itu,
  Aku bahagia lagi, meski dibayangi angan-angan tidak jelas soal kontrakan. 
....

Comments