Gadis kacamata dan kursi 17a



Siang itu panas sekali. Walaupun kata orang Bandung kota yang sejuk,namun tak pernah kurasakan kesejukan itu.

Pegunungan yang mengitari bandung tak mampu lagi membuat atmosfir di kota kembang ini lebih sejuk dari tempat lain.


Setelah proses pembersihan filter air selesai,aku bergegas menuju ke tempat istirahat. Sedikit keluhku terucap dalam hati. 


"Hufh,kalau begini terus aku gak bisa menyisakan uang hasil kerja nih". 


Tiap bulan habis uang. Bulan berikutnya habis lagi. Bulan selanjutnya lagi-lagi habis. Pemasukan berimbang sama pengeluaran. 

Jadinya nol.

Belum selesai keluh ku, handphone ku berbunyi. Panggilan dari kampung. Sejenak aku terdiam. Ayahku sakit dan dirawat di Puskesmas. Pulang adalah tindakan yang ada di kepalaku. 


Aku minta saran kakak, dan dia memberi solusi. Uang, masalahnya saat itu memang uang untuk pulang. Dan Mas ku menuntaskan masalah itu.


Tiket kereta aku pegang. Kahuripan melaju dengan perlahan. Di stasiun Cimahi, aku memulai perjalanan dengan alat transportasi paling murah tersebut. Kumulai mencari tempat duduk yang tercantum di tiketku. 


15..


16..


17..


nah ini dia,17A. 



Tanpa ragu,aku langsung mengangkat tas dan menaruhnya diatas kursi. Tempat biasa penumpang menempatkan barang bawaannya. 


Entah apa namanya. Bagasi mungkin,ah Aku tidak pernah menanyakan ke orang lain tentang nama tempat tas tersebut. Hanya kusimpaan sendiri ketidaktahuanku ini. 


Karena bagiku terlalu bodoh untuk membahas hal tersebut.


Kereta ekonomi memang akrab dengan  masyarakat. Selain harga tiketnya yang murah, penumpangnya juga dibuat akrab satu sama lain. Ini dibuktikan dengan desain kursinya = Maju dan mundur. 


Jadi tiap penumpang dengan kursi maju bisa bertatap muka dan membicarakan hal-hal yang tak penting dengan penumpang yang didepannya dengan kursi berhadapan. Desain kursi ini memang ditujukan agar si penumpang bisa melewati siksa perjalanannya dengan obrolan basi bersama penumpang lainnya.


Seperti kebosanan sebelumnya, aku mulai tanya jawab tak berhadiah dengan penumpang di depanku. Dari barang yang dia bawa, aku sudah bisa menebak. Dia kuli proyek sepertiku. Jadi kami nyambung. Nyambung dalam obrolan yang dalam hati kumengatakan 


"STOP"


 Terlalu capek kawan. Terlalu itu-itu saja pertanyaan dan obrolan kita teman. Yah,begitulah.


Sebelah kiri kutengok


Wanita berkacamata. 


Daritadi acuh. 


Headset di telinganya membuat kenyamanan tersendiri baginya. 


Musik yang dia dengarkan membawa imajinasi keluar dari gerbong kereta yang menyesakkan.  


Sweater penutup kepalanya membuatnya aman dari cahaya lampu yang menyilaukan. 


Dua detik kuperhatikan. Dan disitulah semuanya berawal.


Malam sudah larut. Pria kekar gesit didepanku sepertinya juga sudah sadar kalau kita sudah sama-sama bosan dengan perbincangan kita. Dia pun diam memejamkan mata. 


Entah benar-benar tidur atau hanya pura-pura tidur untuk mengalihkan waktu agar cepat pagi. Lama terdiam. Sebatang rokok ku isap. 


"

Kopi..kopi...

nasi anget nasi anget..


tissu kok kola...





Suara-suara itu yang menjadi irama dalam ruangan. Hampir semua orang mengacuhkan suara pedagang. Tapi mereka tak henti-hentinya memecahkan heningnya suara manusia malam itu. 


Sebagai vokal dari bising kereta yang membuat suara bak dentuman drum symbian. Dari klakson sang masinis yang menjelma jadi terompet musik jazz. Dari pergesekan rem-rem roda sebagai efek melodi gitar. Lengkap sudah konser tak disengaja yang manggung malam itu. 

Dalam lamunanku.

Entah sudah bosan dengan playlist nya,gadis berkacamata di sisi kiriku melepas headsetnya. Dia menyapaku dengan senyum yang dibuat-buat. Kubalas dengan senyum palsu juga. 


Feeling ku mengatakan, kalau dia pengen ngobrol karena sudah terlalu lama mendengarkan. Mendengarkan mp3 yang dia sudah hafal syairnya. Lupa aku berkata apa pada mulanya, lama-kelamaan kita bisa berkomunikasi secara lisan. Sedikit canggung. 


Sedikit basi. 


Obrolan ala kadarnya yang membuat kita sama-sama bertujuan mengalahkan waktu. Sesekali matanya mengarah pada handphone yang dia genggam. Mengalihkan kacanggungan kami.


Pembahasan yang tak penting pun akhirnya keluar. Tentang grup band yang dia suka. Tentang baterei handphone yang mulai melemah. Tentang efek samping merokok. Dari sinilah kami berdebat. 


Aku bersikukuh bahwa merokok ada efek positifnya, dia tetap berpendapat selayaknya wanita pada umumnya. Tapi dia tetap menyampaikan dengan bijak. Dari obrolan-obropan tentang kesehatan yang dia sampaikan, aku menafsirkan bahwa dia tak jauh dari dunia medikal. 


Ternyata benar,dia salah satu karyawati di klinik milik sebuah PT tekstil di bandung. Dia yang mengambilkan macam obat yang sudah di resep kan oleh dokter.


Mulai akrab. Akupun memberanikan diri bertanya tentang obat yang biasa dipakai untuk penderita Tb (tuberculosis). Dia menjelaskan dengan kata 


'seingatku..setahuku' 


dan sebagainya. Dari sini aku merasakan bahwa dia orang yang realistis. Tidak banyak berangan-angan. Kala tahu dia katakan tahu, kala tidak tahu dia tidak mengakalinya agar terlihat tahu. 


Dan nama obat yang setengah lupa aku sebutkan, dia benarkan ejaannya. Tentu saja tentang obat Tb tadi.


"Hadeuh,pulsaku habis.." 


gumamku setelah mengirim sms gagal dan gagal lagi. Karena dia mendengar lirih, dia menanyakan. Kenapa ??! Dan kujelaskan apa yang terjadi. 


Tanpa keraguan, dia menyodorkan handphone nya. 


"Nih, pake punyaku" jawabnya. 


"Tulisanku jelek, kamu aja yang nulis" candaku. 


Tanpa tersenyum, dia membuka menu ke pesan. Menuliskan pesan sesuai aba ku, Layaknya manajer dengan sekretarisnya yang cantik. Saya pun bisa menyampaikan pesan saya ke teman di kampung kalau saya naik kereta dan jemput di stasiun walikukun.


Dikarenakan dia baru denger nama stasiun tempat aku turun, gadis itu pun menanyakan lebih lanjut. Alhasil, saya juga bertanya detail tentang dimana dia tinggal dsb. 


Ditengah penelusuran kami tentang keingintahuan masing-masing, ada sms balasan. Oh iya, saya lupa mencantumkan nama di pesan saya tadi. Dia pun bertanya siapa namaku. 


"Hanif,kalau kamu ??" Jawabku dengan balik bertanya. 


"Santi.."jawabnya.


Kusimpan nama itu dalam kepala saat dia sedang mengetik pesan balasan. Dia sudah berumur 23 tahun. 2 tahun lebih tua dari aku. Itu diwujudkan dari kedewasaan dia menguasai suasana obrolan. 


Tidak pernah mau menghakimi. Tidak ingin menang sendiri. Dan tidak mengacuhkan lawan bicaranya, asal tidak menggoda.


Seisi dunia seperti sedang memihakku malam itu. Kesedihan saat mendengar ayahku sakit, seperti sedikit terkikis. Dan selang beberapa waktu, setelah masing-masing kami mulai merasa benar-benar akrab, dia memberiku sebungkus kue. 


Enggak aku sebutin merknya, ntar malah dikira promosi lagi. Juga gak aku simpen buat kenangan ampe jamuran. Dia gak terlalu banyak basa basi. 


Mandiri


Simple


Supel


Dewasa


Gak habis kata kalau menggambarkan kepribadian dia yang super positif. Menurutku.


Kahuripan sampai di stasiun kebumen. Tempat santi akan turun. Sifat kewanitaan nya pun muncul.


"Anterin aku sampai ke pintu kereta ya han !" Pintanya. 


Sedewasa apapun wanita, secara naluri dia akan butuh proteksi. Karena memang kereta ekonomi banyak penumpang yang berjubel di tengah-tengah jalan. Ada yang tiduran, ngopi, mainan hp dsb. 


Entah karena sudah saking akrabnya saat bercanda atau memang akunya yang kurang punya sifat protektif, aku pun diam saja. 


"Enggak ah, manja !" 


Jawabku ketus setelah selang 'beberapa detik'. Beberapa detik lamunanku akan berpisah dari dia. Beberapa detik ketidak ikhlasanku akan kepergiannya. Beberapa detik akan ada tempat kosong di kursi 17..




"Jangan sia-sia kan tiap detikmu dengan mengacuhkan orang di sekitar anda"




Comments