Gadis Kacamata 2

Setelah sampai di Stasiun Kebumen, Santi pun turun dengan tanpa keikhlasan dariku. Sungguh suatu keberuntungan besar malam itu. Dia menatapkan matanya yang terlindung kacamata minus 3 dan memandangku dari bawah gerbong. Kubalas dengan senyuman kecut, senyuman tak rela.

Entah apa yang musti kurasakan, dan mendadak sepertinya aku mati rasa.

Kahuripan berjalan lagi untuk menuntaskan tugasnya agar sampai Kediri tepat waktu. Kutarik nafas panjang, kupandangi angka yang tertera di atas bangku penumpang.

17a

Kuingat angka itu sampai sekarang. Angka keberuntungan yang membuat gue berjumpa dengan sesosok wanita supel, mandiri dan keibuan. Tuhan Maha Asik. Tau kalau sedang dirundung nestapa karena ayah sedang sakit, dan mengirim Gadis minus 3 itu buat teman becandaku malam itu. Di kursi 17.

Aku orang yang suka menghubung-hubungkan sesuatu hal. Aku pun mendadak jadi musrik dan menganggap angka 17 adalah angka keberuntungan bagiku. Atas dasar lahir di tanggal 17, gue pun malah tambah percaya keberuntungan dengan mengesampingkan takdir Tuhan.

Untunglah, selain Maha Asik, Tuhan juga Maha Canda. Suka becandain gue dan memaklumi kemusrikanku kali ini.

Seperti perjalanan biasanya, kebosanan melanda lagi. Aku segera mem-pura-pura-kan mata untuk tidur. Memasang wajah tak sadarkan diri. Dan melamunkan tentang obrolanku dengan Santi barusan, yang seperti mimpi. Bisakah kisah ini berlanjut di hari-hari selanjutnya?! Bisakah gue bertemu Santi lagi?! Bisakah duduk berdua dan bercerita tentang "aku dan bintang"nya Peterpan lagi?!!

Kecamuk otakku menjadi-jadi. Apalagi gue yang masih labil, selalu dalam hidup mengangankan yang indah-indah. Tapi dengan cepat berubah sedih hanya dalam hitungan detik. Begitulah, seperti hujan di bulan Desember. Dengan cepatnya berganti panas dan sebaliknya. Dasar gue!!! Manusia kekanak-kanakkan labil yang berubah-ubah.

Sesampainya di Stasiun Walikukun, aku mendaratkan kaki dari gerbong yang menyesakkan itu. Gerbong besi yang menjadikan siksa tersendiri bagi gue tiap kali bolak-balik Bandung-Ngawi.

Aku segera ke Puskesmas tempat Bapak dirawat inap. Tak ingin berkelanjutan, kuminta pada dokter agar dirujuk di RS. Dan kesemuanya berjalan lancar.

Di RSUD Dr. Soeroto Ngawi, Bapak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.

Dan dalam 5 hari, Dokter sudah memvonis Bapak sembuh. Dan kami pun pulang.

Benar saja, Bapak sudah berjalan sebagaimana orang sehat pada umumnya. Dan aku, teringat Santi. Dimanakah gerangan, sudah balikkah ke Bandung?! Bagaimana aku bisa menghubunginya?!!

Akh, bodohnya diriku.

"Kan pas di kereta aku pernah pinjem hapenya buat sms Gunawan" pekikku penuh semangat seolah baru diberi kemerdekaan oleh Kompeni. Ya, gue langsung mencari Gunawan. Dan untunglah, orangnya masih hidup. Dan nomer Santi juga masih selamat di Handphone-nya.

Komunikasi kita pun lancar, kecuali pas nggak punya pulsa. Dan Santi, udah balik ke Bandung. Dia memberi alamat lengkap kost dan tempat kerjanya.

Perumahan Mutiara

Ya, aku ingat bener klinik tempat dia mencetak uang. Selang tiga mingguan, setelah Bapak udah bener-bener baikan dengan kesehatannya, gue balik lagi ke Bandung. Kali ini ada kesemangatan dari diri untuk balik lagi mengais rupiah di kota yang menghasilkan banyak kisah itu.

"Kapan main kesini, Han?"

Isi sms Santi yang baik hati, yang ngebuat dorongan tersendiri buatku untuk sedikit lebih bersemangat menjalani Hidup.

Untunglah, pas balik lagi ke kerjaan awal yang kutinggal pulang mendadak, masih nerima gue lagi. Dan orang kantor, masih memberi gaji full sebulan. Padahal aku nggak kerja sama sekali pas bulan itu. Kebijakan bos emang kadang ngeselin, kadang juga ngebaikin.

Sebagai operator air di sebuah komplek, aku libur tiap 3 hari sekali. Sehari kerja siang, sehari malam, dan sehari libur. Dan kesempatan itu membuatku  ancang-ancang mengambil start lebih awal untuk tidak tidur dari shift malam, dan segera memakai sepatu untuk pergi ke tempat Santi.

Niat gue yang membara padam, saat kutahu kalau Santi nggak libur, dan kudu kerja.

Akh, dasar gue. Nggak pernah punya rencana yang mulus. Kadang rencana yang muluk-muluk malah berakhir tak sesuai harapan. Dari itulah, aku nggak mau lagi punya rencana muluk-muluk dalam hidup.

Saat itu bulan puasa, bulan dimana merokok harus ngumpet-ngumpet di dalem got. Makan nggak boleh ada sisa nasi di samping mulut, dan minum nggak etis sambil nari telanjang di tengah perempatan

"Ntar buka bareng di kontrakan ya. Udah belanja banyak nih. Kamu gausah masak. Puasa, kan?!"

Dasar wanita, tahu aja kalau cowok itu males masak. Eh iya, di Bandung ini aku masak sendiri. Kadang cuman masak nasi doank, dan sayuran beli mateng. Tapi yang sering, masak mie instant.

Jam 4 sore, yang biasanya males mandi dan cuman petetang-peteteng kalungan handuk, aku berubah 180 derajat dan nggak phobia air lagi. Tapi cuman kali ini. Aku berangkat ke tempat Santi yang jaraknya lumayan jauh.

Perjalanan dengan angkutan umum sungguh ngebuat loe kudu main sabar kawan.

"Ayo...ayo... Satu lagi berangkat!!"

Begitu teriakan kernet pengobral janji. Pas di terminal start sebuah angkot memang gitu. Kalau belum full, jarang-jarang ada yang langsung berangkat. Padahal mah, sudah kelewat lima penumpang sejak teriakan "satu lagi berangkat" itu dikumandangkan. Eh, belum juga berangkat-berangkat. Untung gue cuman sekali naik angkot dari start terminal angkot. Sisanya, gue naik bis besutan Pemerintah Daerah yang diberi nama DAMRI.

Bersambung...

Comments