Gadis Kacamata 5

Setelah kebersamaan malam itu, di kontrakan Santi, membuat gue merasa kalut. Menjadikan satu dari sekian hari yang kujalani sangat berarti. Otak suka nyaring, mana yang perlu diingat, mana yang harus dilupakan.

Yaps, dan otak gue lebih memilih untuk mengingat hal kecil itu, secara manusiawi. Kadang aku sadar, bahwa semua kenangan manis hendaknya dilenyapkan dari sisi otak ini. Agar saat tak bisa mengulangi, tidak menggerogoti hati yang bakal jadi pilu.

Kenangan,
Sebuah kata benda tapi tak berwujud. Sangat mempengaruhi seseorang. Lebih dari sekedar kata benda berwujud lain.

Oke, kembali ke cerita.
Hari selanjutnya, gue jadi kaku menghadapi hati gue sendiri. Perasaan ini serasa canggung untuk menerima Santi sebagai seseorang yang secara kebetulan ada di kursi 17a. Di gerbong kereta. Yapz, perkenalan tak disengaja itu sepertinya jadi madu sekaligus jadi cambuk bagi diriku sendiri.

Bagaimana tidak?!
Setelah pertemuan kedua dengannya di kontrakkan, membuat gue makin labil. Bak nyiur yang diterpa angin pantai. Tak berarah dan berlawanan arah tiap siang dan malam.

Perasaan suka, sudah muncul dari sejak pertama bertemu. Itu hanya karena aku lelaki dan dia wanita.

Tidak, bukan itu yang terpenting. Tapi dari sikap, obrolan, dan pandangan dia yang kurasa, sepertinya aku sudah mulai dalam fase cinta. Entah, cinta yang seperti apa. Nyatanya, baru dua kali bersama dalam tempo yang tidak terlalu lama itu, membuat gue makin ingin mengenal dia.

Sebulan kami tak sua. Karena pekerjaan makin rumit dan gue ada masalah dengan rekan kerja gue. Asep, salah satu rekanan yang juga bisa dikatakan senior, seenak jidat nyuruh gue yang lagi nggak tenang. Sontak saja, ku genggam kerah hem kebanggaannya yang super menyebalkan itu, dan kukeluarin nama seisi kebun binatang. Gue nggak bisa nge-rem. Detak jantung gue memicu kencang dan tanpa disuruh, tangan, mulut, dan mata ini serasa jadi super saiyan yang geram dan pengen membasmi makhluk sok jagoan dan mengandalkan pangkat itu.

Di hari sebelumnya, aku sudah muak dengan kelaukan dan kesewenang-wenangan Asep. Sok tau, sok pinter, sok pemimpin. Akh, mual perut gue udah nyampe kerongkongan dan pengen gue mutahin.

Dan hari itu, semua terbayar. Mualku sembuh. Rasa geramku keluar. Setiap perbuatan, pasti ada akibatnya. Ya, dan gue udah memperhitungkan segalanya. Kalau gue ngelawan, berarti harus siap keluar dari pekerjaan ini. Pekerjaan yang sebenernya hanya untuk orang jompo.

Operator air, atau biasa di kenal PDAM, tapi ini milik sebuah kontraktor komplek, bukan milik pemerintah, adalah pekerjaan yang cuman nyalain blower, puluhan kran untuk membagi tiap saluran warga. Dan sore, dan malam begitu-begitu saja. Sama sekali tidak kritis dan nggak kreatif.

Hal itulah yang buat gue berani membuat keputusan idiot ini.

Kenapa saya yang keluar?!!
Sedang teman yang lain juga sama kayak gue, muak sama Asep?!!

Inilah dunia kawan.
Tidak ada Raja, tidak ada Presiden kalau semua manusia adil dan punya hak yang sama.

Sejak jaman nenek moyang sudah ada kasta. Dan gue, sebagai sudra tak tahu diri yang pengen persamaan hak. Salah dalam sistem manusia sekarang yang terkoordinir, tapi gue puas.

Aku lalu ikut Kakak gue yang rumahnya malah lebih dekat dengan kontrakan Santi.

Hal itulah yang sedikit menghibur gue setelah resmi keluar dari pekerjaan.

Gue makin bebas buat bertemu Santi, tapi, status gue yang pengangguran menjadikan diri ini sedikit menutup diri.

...

Comments